ARTICLES
Introduction JIMPF
Pra Biennale – JOGJA INTERNATIONAL MINI PRINT FESTIVAL (JIMPF) 2013 is planned as a different kind of event and as the start a new art tradition in Yogyakarta. The Festival is also meant to stimulate Jogjakarta printmakers to become more actively involved in printmaking on a global scale. JIMPF was initiated by Teras Print Studio in cooperation with Tirana Art Management and is supported by the larger Yogyakarta printmaking community. The selection process for JIMPF is open and non-juried in order to attract participants from both Indonesia and abroad. Participants can choose from a number of activities including the main Mini Print Exhibit, conferences, technical demonstrations, printmaking workshops, and performance art. The registrations fees for various events are intended to defray the operational costs of the Festival. JIMPF can be described as “semi-self funded - “from, by, and for artists themselves”. JIMPF will take place from 15 to 30 November 2013. The main exhibit, conferences, demonstrations, and performance art will take place at the ISI Gallery (Institut Seni Indonesia/Indonesian Academy of Art Yogyakarta). Workshops will be held at ISI as well as other locations including Grafis Minggiran, Krack Studio, and Teras Print Studio – all located in the city of Yogyakarta. The Pra Biennale-JIMPF 2013 is conceived as a ‘warm up’ event to be carried out before the long awaited the First Jogja International Mini Print Biennale (jIBMF) 2014 which is scheduled to take place in 2014. As a pre-event or ‘Pra-Biennale’ JIMPF 2013 is quite ambitious. The original goal was to attract at least 100 participants, 20 from abroad and 80 from Indonesia, but registration has already exceeded that target. As of the 15 October registration deadline and before this brochure was printed more than 170 artists had registered including about 30 international participants from Australia (5), the US (3), Europe (2), Mexico (1), Malaysia (5), Philipina (18) and Indonesian artists from Jakarta, Bandung, Surabaya, and Bali. The most popular category with the largest number of participants is the Mini Print Exhibit though participants have also registered for conferences, technical demonstrations, and performance art. The workshops are being organized by the individual studios conducting the workshops and enrolment data is available from the studios themselves. Why mini prints? Mini prints are unpretentious works of art and although small (most are 20cm x 25 cm or even smaller) their significance should not be underestimated. In the practice of printmaking itself mini prints are an intimate expression. Precisely through this small format printmakers can focus their attention and explore in detail the rich traditions of printmaking. Many printmakers began their careers with mini-prints and many have continued to work in this format while also exploring other techniques and formats. Thus in the history of printmaking mini-prints have always had a place. The richness of this format can be seen from the works submitted to the main mini print exhibit including techniques such as Etching, Aluminium Etching, Drypoint, Aquatint, Solar Plate Etching, Sugarlight, Mezzotint, Ala poupe Etching, China Colle, Carborundum, Blind Embosing, Woodcut, Reduction Woodcut, Linocut, Collagraph, Mokuhanga, Stone Lithography, Aluminium Lithography, Kitchen Lithography, Monotype, Monoprint, Photo Intaglio, Stencil, Silk Screen, as well as combinations of various techniques. Two special guests have been invited to give a boost of energy to this event where they will give special presentations in the conference section: Master Printer Devy Ferdianto from Bandung whose technical mastery and dedication to printmaking, including his efforts to establish a professional printmaking studio in Bandung, are well known and Etiaro Ogawa, Chief Printer and Program Leader, Singapore Tyler Print Institute (STPI), Singapore. The presence of a technical master from STPI is an honor, especially in view of STPI’s growing reputation as a center of printmaking excellence. We are grateful to dr. Oei Hong Djien who encouraged STPI’s participation JIMPF 2013. JIMPF 2013 is a printmaking event which will prepare artists and the public for future activities. The goal of JIMPF 2013 is to ensure that participants, the organizers, as well as the public are ready –physically and mentally - for a new tradition, the Jogja Mini-Print Biennale (Syahrizal Pahlevi, Coordinator of JIMPF) Translation by Jerry Chamberland Pengantar JIMPF Pra Biennale - JOGJA INTERNATIONAL MINI PRINT FESTIVAL (JIMPF) 2013 dirancang untuk memberikan sajian even berbeda dan membuat tradisi baru bagi seni rupa kota Yogyakarta. Kegiatan ini sekaligus sebagai perangsang bagi seni grafis Yogyakarta untuk terlibat aktif dalam pergaulan seni grafis dunia. Even ini digagas dan diorganisir oleh TERAS Print Studio yang bekerjasama dengan Tirana Art Management dan didukung oleh komunitas seni grafis Yogyakarta. JIMPF menerapkan sistim pendaftaran terbuka untuk menjaring peserta baik dalam maupun luar negeri. Peserta dapat memilih beberapa kegiatan untuk diikutinya yaitu: Pameran karya-karya mini print, Konferensi, Demonstrasi teknik, Performance art termasuk Workshop seni grafis. Panitia mengenakan biaya tertentu kepada peserta yang ikut serta sebagai subsidi untuk ikut membiayai sebagian keperluan kegiatan ini agar dapat terwujud dan disajikan kehadapan publik saat ini. Sehingga dapat dikatakan kegiatan ini bersifat semi mandiri, “dari, oleh dan untuk seniman sendiri”. JIMPF berlangsung dari tanggal 15 November sampai 30 November 2013 terpusat di Galeri ISI Yogyakarta untuk sesi pameran, konferensi, demonstrasi dan performance art. Sedangkan workshop tersebar di beberapa tempat, ada yang dilakukan di Galeri ISI Yogyakarta, ada pula yang dilakukan di studio Grafis Minggiran, Krack Studio dan TERAS Print Studio yang kesemuanya berada di kota Yogyakarta. JIMPF 2013 sebenarnya diselenggarakan sebagai ‘pemanasan’ sebelum menggelar even yang dicita-citakan yaitu “Jogja International Biennale Mini Print (JIBMP)” atau apapun namanya nantinya yang direncanakan untuk kali pertama akan dilaksanakan pada 2014 mendatang. Sebagai event ‘pendahuluan’ atau ‘pra biennale’, JIMPF 2013 yang semula ditargetkan dengan “cukup ambisius” karena berusaha dapat menggaet setidaknya mendekati angka 100 peserta dengan perkiraan 20 peserta internasional dan 80 peserta Indonesia ternyata diminati melebihi target yang dibuat. Sampai hari-hari terakhir mendekati deadline sebelum leaflet yang anda pegang ini naik cetak, angka peserta yang terdaftar mencapai 170an peserta dengan perincian ada 30an peserta internasional (Australia (6), USA (3), Eropa (2), Mexico (1), Malaysia (5) dan Philipina (18) dan 140an peserta dalam negeri yang tersebar dari Yogyakarta sendiri, Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Surabaya, Bali dan Makasar. Kategori yang diminati tentu saja terbanyak mengikuti pameran mini print, selebihnya beberapa ada yang tertarik mendaftar untuk kategori konferensi, demonstrasi teknik dan performance art. Untuk workshop kami tidak mendatanya karena pengelolaan dilakukan oleh studio atau kelompok peggrafis pemberi workshop itu sendiri. Mengapa menghadirkan mini print? Karya-karya mini print adalah karya yang bersahaja. Sekalipun ukurannya kecil (kebanyakan ukuran bidang gambar karya tidak lebih dari 20 cm x25 cm bahkan lebih kecil lagi!), karya mini print tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Justru melalui format mini ini biasanya pegrafis fokus dan secara detail mengeksplorasi teknik printmaking yang kaya. Dalam tradisi printmaking sendiri, karya mini print adalah ungkapan yang intim. Banyak pegrafis mengawali karirnya lewat-karya-karya mini print ini dan tidak sedikit juga diantaranya tetap meneruskan berkarya dalam format tersebut diluar membuat karya dalam format lain. Jadi, sepanjang sejarah penciptaan seni grafis, karya-karya mini print tidak pernah kehilangan tempatnya. Mengenai kekayaan teknik seni grafis ini dapat disaksikan dari karya-karya peserta dalam kategori pameran yang menampilkan berbagai teknik seperti: Etching, Aluminium Etching, Drypoint, Aquatint, Solar Plate Etching, Sugarlight, Mezzotint, Ala poupe Etching, China Colle, Carborundum, Blind Embosing, Woodcut, Reduction Woodcut, Linocut, Collagraph, Mokuhanga, Stone Lithography, Aluminium Lithography, Kitchen Lithography, Monotype, Monoprint, Photo Intaglio, Stencil, Silk Screen atau kombinasi beberapa teknik. Dalam kesempatan ini, kami sengaja mengundang 2 orang tamu untuk memberi ‘energi’ dalam kegiatan ini dimana mereka akan memberikan presentasi khusus dalam sesi konferensi. Tamu undangan tersebut adalah Master Printer Devy Ferdianto dari Bandung yang dedikasi dan kepakaran tekniknya tidak diragukan lagi termasuk pengalamannya jatuh bangun merintis studio grafis profesional di Bandung dan Mr. Eitaro Ogawa, Chief Printer dan Program Leader di Singapore Tyler Print Institut (STPI), Singapore. Kedatangan seseorang yang kompeten dari STPI adalah kehormatan dalam even ini mengingat pengaruh, nama besar dan aktivitas STPI belakangan ini. Kami mengucapkan terima kasih untuk bantuan bapak dr. Oei Hong Djien yang bersedia meyakinkan pihak STPI agar mau memenuhi undangan kami. JIMPF 2013 adalah even seni grafis yang bertujuan mengondisikan seniman dan publik kepada kegiatan berkala yang akan dibuat setelahnya. Sasarannya adalah agar ada cukup kesiapan fisik dan mental baik dari pihak penyelenggara, peserta maupun publik ketika dihadapkan sebuah tradisi baru: “tradisi biennale mini print”. (Syahrizal Pahlevi, koordinator pelaksana JIMPF 2013) |
Ah, Merdeka…!
By Hendro Wiyanto It has been said, at least since 2003, that the practice of graphic arts in Indonesia has received concrete support through Bentara Budaya’s ongoing support to the Indonesian Graphic Arts Triennale. This support is important because through this periodic event we can observe the accomplishments of Indonesian graphic artists. Of course, people may scream and shout and attempt to spark enthusiasm through various strange statements or manifestos. Nonetheless, involvement and real practice, not just talk, promises results which will be ongoing and not impromptu. Indeed, this is truly what we are waiting for from artists. Looking back briefly, the development of graphic art in Indonesia is an interesting story; at the dawn of modern Indonesian art we note the names of figures such as Sudjojono, Trisno Sumardjo, and Rivai Apin. In graphic arts of course we need to mention a number of prominent artists like Mochtar Apin, Baharudin Marasutan, and Suromo. In his time Sudjojono kindled the spirit of nationalism and proclaimed his opposition to the Mooie Indies (‘Beautiful Indies’) school of colonial/orientalist painting. On the other hand, the pioneers of Indonesian graphic art carried out ‘soft diplomacy’ through an album of prints, lineographs, monumental “political” works. The album of prints – consisting of 19 lino cut works of Marasutan and Apin- were sent to a number of friendly countries which recognized Indonesia’s sovereignty and independence. Published by the Youth Bureau of the Ministry of Foreign Affairs, the album was published in an edition of 36 impressions on 17 August 1946 in commemoration of the first anniversary of Indonesia’s independence. In a spirit of great optimism Sutan Takdir Alisjahbana, contributed the forward to the album saying “a young nation is knocking at the door of humanity, asking for respect, asking for help in their struggle for the noble rights of humanity; transforming themselves in their relationships between nations”. It can be said that through lineographs and the echo of Takdir’s voice, truly Indonesian graphic art, unlike painting, was never colonized. Through their work, whether consciously or not, graphic artists in fact had already declared themselves part of a free nation. But it appears that the independence of graphic art or the practice of art since 1946 did not immediately give rise to an independent attitude on the part of artists in the post independence period. Indonesian graphic artists – from the beginning only a small number of people – drifted away from graphic art and its special characteristics and range of technical expressions and were lost from view. Associations, groups, exhibitions, foundations, and other groups came and went. Some represented only the wishes or dreams of various people and were never realized. Of course, training in graphic arts is still part of the higher education system but we know that efforts to develop art education are generally carried out only half-heartedly. The principal constraint, for example, is the lack of basic equipment, but there is no serious effort to overcome these limitations. Graphic artists often feel a lack of confidence about their own work. Even more, we devalue graphic art, putting it in the same class as ‘calendar art’, forgetting an important aspect of authentic human activity, namely, “thinking with dirty hands”. Of course there are always exceptions or even deviations from this pattern but this is rare; for example, the brilliant serigraphs done in the 1970s by artists from the Decenta group in Bandung. There have always been young artists, although not many, working in this medium in Yogyakarta. Recently there have even been one or two groups of graphic artists working on a number of graphic arts projects . The lack of support, minimal appreciation, and a social domain which absorbs what the market offers are of course factors which determine the future of this field of art. Thus it is appropriate to say that at least two types or disasters will continue to haunt us. The first is the threat of natural or environmental disaster arising from Indonesia’s geographical position of the Ring of Fire and the second is the artistic environment, a disaster of graphic art which once gave us the sense of a free people. For people who saw the film Soegija the murmur of these words might still reverberate: “What is the meaning of freedom if we do not succeed in educating ourselves?” This question can well be asked of graphic artists: What does the proclamation of independence mean in graphic art in the past if artists now have lost their self confidence, even more if they are not able to align themselves with developments in other branches of art? “Unable to educate ourselves” with all the uniqueness and richness of their own medium? Do we believe that the uniqueness of the medium of graphic art will produce monotonous feeling of woodcuts or neutral feelings towards the surface which will be carved? Will the richness of techniques such as intaglio, aquatint, etching, and dry point, for example, only give rise to a feeling of coldness from the flat surface? The uniqueness of the medium should not create monotony, uniformity or specialization which ignores other possibilities. What is needed and should be understood through uniqueness is a valuable lesson which arises from discipline and the depth of the medium in the limitations and life space itself. In other words, struggling with the medium is not anti- experimental but understanding foundations, through work which is reaches for the limits of its own sphere. Is it not that the case that this has not yet been truly explored and understood and the results demonstrated by the work of most graphic artists? Is it not freedom and self reliance that has seems Oas if it has been lost from the treasure house of Indonesian graphic arts? Ah, merdeka…(Hendro Wiyanto, art writer/critic) Translation by Jerry Chamberland. Ah, Merdeka…! Oleh Hendro Wiyanto Orang mengatakan, setidaknya sejak 2003 praktik seni grafis di Indonesia memperoleh dukungan nyata melalui penyelenggaraan berkesinambungan Trienal Seni Grafis Indonesia oleh lembaga bernama Bentara Budaya. Sokongan itu penting, melalui agenda yang teratur itu kita dapat melihat pencapaian dan hasil pekerjaan para seniman grafis kita. Tentu boleh orang berkoar, menggugah semangat dengan pernyataan yang aneh-aneh atau macam-macam. Namun keterlibatan dan praktik nyata, yang bukan angin-anginan, menjanjikan hasil pekerjaan yang berkesinambungan dan tidak sekadarnya, itulah agenda kerja yang sesungguhnya kita tunggu dari para seniman. Menengok sebentar ke belakang, cerita perkembangan seni grafis di Indonesia menyimpan kisah menarik. Kita mencatat nama-nama tokoh seperti Sudjojono, Trisno Sumardjo dan Rivai Apin dalam fajar perkembangan seni lukis modern kita. Pada seni grafis, kita tentunya perlu berpaling pada sejumlah seniman terkemuka seperti Mochtar Apin, Baharudin Marasutan dan Suromo. Melalui seni lukis, pada masanya Sudjojono mengobarkan semangat nasionalisme dan memaklumkan permusuhannya dengan lukisan-lukisan kolonial-orientalis bernama Mooie Indie. Sebaliknya, para perintis seni grafis kita melakukan diplomasi lunak melalui sebuah album cetakan grafis, lineographs, karya “politik” yang monumental itu. Album cetakan grafis itu – terdiri dari 19 buah cukilan lino, karya Marasutan dan Apin- dikirimkan ke sejumlah negara sahabat yang mengakui kemerdekaan serta kedaulatan RI. Diterbitkan oleh Urusan Pemuda Perhubungan Luar Negeri, karya itu dicetak sebanyak 36 edisi, sebagai peringatan genap setahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1946. Sutan Takdir Alisjahbana dengan rasa optimis yang besar memberikan kata pengantar pada album itu, di antaranya menulis begini: “satu bangsa yang muda mengetuk di pintu perikemanusiaan minta penghargaan, minta bantuan untuk perjuangannya dalam merebut hak manusia yang termulia: menjelmakan diri sendiri dalam pergaulan antar-bangsa.” Baiklah kita katakan, melalui lineographs dan gaung suara Takdir, sejatinya seni grafis (kita) tak pernah merasa diri terjajah seperti halnya seni lukis. Melalui seni grafis, disadari atau tidak, para seniman justru sekaligus sudah menyatakan diri sebagai bagian dari bangsa merdeka. Tapi agaknya, kemerdekaan seni grafis atau sebutlah rasa-merasa praktik seni rupa yang merdeka sejak 1946 itu tidak serta merta melahirkan sikap merdeka para senimannya di cecabang itu pasca-kemerdekaan. Para pegrafis kita – yang jumlahnya memang sedikit sejak mula- surut dari gelanggang, karya-karya grafis dengan kekhasan dan ragam teknik ungkapan, menghilang dari pandangan kita. Asosiasi, kumpulan, pameran, rencana kerja, yayasan, dan lain-lain, datang lalu pergi. Sebagian lagi hanya berupa keinginan atau impian sejumlah orang yang tak pernah benar-benar terwujud. Tentu saja, pendidikan seni grafis masih ada di lingkungan pendidikan tinggi sampai sekarang. Tetapi kita tahu, upaya pengembangan umumnya dilakukan setengah hati, kendalanya yang paling pokok, misalnya peralatan yang memadai, tak sungguh-sungguh ingin diatasi. Mereka yang terlanjur tercebur di dalamnya sering tak merasa yakin dengan pekerjaan mereka sendiri. Kelak, kita bahkan lebih suka meremehkan karya grafis sekelas cetakan kalender, seraya melupakan sisi penting dari kegiatan manusiawi yang hakiki, yakni “berpikir dengan tangan-tangan kotor”. Tentu saja selalu ada perkecualian atau penyimpangan bahkan. Tapi itu pun agaknya jarang pula ditengok. Misalnya saja, hasil-hasil pekerjaan sangat cemerlang dari masa 70-an berupa serangkaian karya serigrafi dari seniman-seniman grup Decenta di Bandung. Pun, di Jogja selalu ada, kendati tidak banyak, seniman-seniman muda yang menekuni medium ini, dan belakangan malah telah muncul satu dua kelompok pegrafis yang mengupayakan sejumlah proyek seni grafis. Langkanya pendukung, minimnya penghargaan dari medan sosial berupa penyerapan pasar, tentunya merupakan faktor yang ikut menentukan jatuh-bangun cabang seni ini. Maka, selayaknya kita mengatakan, setidaknya ada dua jenis mala atau bencana yang akan terus menghantui kita. Yang pertama adalah bencana alam sebagai risiko hidup di tengah lingkungan cincin api, dan yang kedua, di lingkungan seni rupa, bencana seni grafis yang pernah memberi kita rasa-merasa sebagai bangsa merdeka. Para penonton film Soegija mungkin masih terngiang akan gaung kata-kata ini: “Apa arti merdeka kalau kita tidak berhasil mendidik diri sendiri?” Pertanyaan itu kiranya boleh kita ajukan kepada para pegrafis: apa makna proklamasi kemerdekaan melalui cabang seni grafis di masa lalu, kalau para pegrafis di masa kini justru kehilangan rasa percaya diri, pula tak sanggup menyejajarkan diri dengan kemajuan ragam seni yang lain? “Tidak berhasil mendidik diri sendiri” dengan kekhasan sekaligus kekayaan mediumnya sendiri? Apakah kita percaya bahwa kekhasan medium pada seni grafis cuma akan menghasilkan monotoni rasa cukilan kayu, atau rasa hambar sebilah papan yang dicukil? Apakah kekayan teknik-teknik intaglio, aquatint, etsa maupun dry point, misalnya cuma akan melahirkan cita rasa dingin dari lempengan datar pelat yang digores di permukaan? Kekhasan medium bukanlah demi menciptakan monotoni, keseragaman atau spesialisasi yang tak mau tahu dengan kemungkinan lain. Yang mau dan sebaiknya dipahami melalui kekhasan adalah pelajaran berharga yang lahir dari disiplin sekaligus kedalaman medium itu sendiri, dalam batas-batas dan ruang hidupnya sendiri. Dengan kata lain, menggeluti medium bukanlah anti percobaan, tapi memahami dasar-dasarnya, melalui pekerjaan yang lebih tuntas pada aras dunianya sendiri. Bukankah itu yang belum sungguh-sungguh digali, dikenali dan ditunjukkan hasilnya oleh kebanyakan pegrafis kita? Bukankah kemerdekaan dan kemandirian itu yang selama ini terasa hilang dari khasanah seni grafis kita? Ah, merdeka…+++ (Hendro Wiyanto, penulis seni rupa) |
Developing a Culture of Printmaking
By Nunuk Ambarwati Whether by coincidence or not, an internship experience at a commercial gallery in Australia in 2008 provides an interesting comparison between the world of graphic art in Indonesia and Australia. At that time I had the opportunity to intern for a month at the Nomad Art Gallery, Darwin, NT, Australia (www.nomadart.com.au). The gallery was very basic; display space was limited and was shared between temporary exhibits and work on consignment. For exhibitions the space could only accommodate approximately 10 small pieces measuring about 30x 40 cm. Exhibit openings were intimate, personal, and warm because the space was small. The displays were simple, full of interesting consigned works, and elegantly arranged by the owner. From the human resource and management point of view it was very effective because the gallery employed only three people. Managed by a husband a wife team who were dedicated to both the local and national art world, they employed just a single admin assistant. The three did everything from cleaning the building, meeting visitors, handling correspondence, arranging displays and packing work for shipment. If the owners needed additional personnel, it was out-sourced. The gallery was strategically located on Vickers St in the center of the business district in the village of Parap in Darwin. Although in comparison to other larger galleries nearby Nomad could be described as small, in the course of their annual program of activities they undertook many large national scale projects, usually carried out at other venues outside the gallery. It is interesting that almost every day a work of graphic art was sold at the gallery. Most of the buyers were not regular customers or collectors but tourists who came in and liked what they saw. They chose something, had it packed, and took it home with them there and then. I was amazed; how easy it was to sell graphic art in the Northern Territory! However, if we look at the market for graphic art in Indonesia the situation is reversed. Few people are interested; in fact, graphic art is sometimes ignored because it does not have the same value as work in acrylic or oil and graphic artists need think hard to come up with strategies and innovations so that their work achieves the same level of appreciation as work in other media; for example, the development of monoprints or prints combining hand coloring and the like. From the point of view of sales or marketing I felt an urge to bring the work of Indonesian graphic artists for exhibition or just consignment to Nomad because I was sure it would be better appreciated and more quickly sold. Let’s look at this from another angle: why does graphic art sell more easily in Australia, in a small gallery in the Northern Territory, than in Indonesia? At the time I was doing the internship Nomad Gallery was doing a show of graphic art of Australian Aboriginals. At almost the same time Nomad was also doing an exhibit of contemporary textiles and graphic art of the Amarasi people of East Nusa Tenggara titled “Ta Teut Amarasi Awakening” The exhibit was part of a cooperative program between the governments of the Northern Territory and East Nusa Tenggara and Asialink at the University of Melbourne and Yayasan Kelola (Kelola Foundation), Jakarta. Nomad has a strong focus on work with traditional themes including graphic works from the Amarasi and Aboriginal artists. Nomad is conscious of traditional art because Australians Aboriginals have already lost the roots of their original history and are searching for an authentic Australian history. It is as if they are thirsty for the history of their ancestors and their material culture and traditions. Thus traditional work is highly appreciated and treated as sacral. When a people sense the loss of the spirit of tradition they may then begin to try to recover it and appreciate it more. People such as Aboriginals and the Amarasi use graphic art techniques to immortalise their tribal motifs and create a valuable legacy for their descendants. Some time ago when Syahrizal Pahlevi was discussing his hopes that the Jogja International Mini Prints Festival /Biennale would become an ongoing tradition I didn’t hesitate to offer my support to help shape a culture of appreciation for small-scale graphic work and to promote mini prints themselves on an international scale. Even though the works are small the hopes and dreams are big and I am certain the challenges will not erode the determination of the ‘militant’ printmaker Syahrizal Pahlevi. Together with a number of graphic arts communities in Yogyakarta, each employing different techniques and approaches, the festival is a movement across conventional cultural boundaries and deserves the support of everyone. Developing a cultural tradition is not quick or easy. Let us hope this dream becomes a reality, like what I experienced during my days as an intern in Darwin Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management) Translation by Jerry Chamberland. Membangun Budaya Seni Grafis Oleh Nunuk Ambarwati Entah sebuah kebetulan atau bukan, pengalaman magang di sebuah galeri komersial di Darwin, Australia (2008) menjadi perbandingan yang menarik tentang dunia seni grafis antara Indonesia-Darwin. Saat itu, saya berkesempatan magang selama kurang lebih 1 bulan di Galeri Nomad (Nomad Art Gallery, www.nomadart.com.au) Darwin, NT, Australia. Galeri ini boleh dibilang sangat sederhana, baik dari fasilitas yang ia miliki sebagai sebuah ruang pamer, karena luasnya tak seberapa, itu pun bergabung antara display pameran dengan display karya konsinyasi. Bila sedang ada pameran disana, hanya muat sekitar 10 karya berukuran kecil sekitar 30 x 40 cm saja. Pembukaan pamerannya pun sangat intim, personal dan hangat karena memang ruangan yang tersedia tidak besar. Dengan display yang simple, penuh karya-karya konsinyasi menarik tapi tetap ditata elegan style si pemilik. Dari sisi manajemen pun sangat efektif, karena hanya ada 3 orang yang bekerja disana. Galeri ini dikelola oleh sepasang suami istri yang sangat berdedikasi terhadap dunia seni rupa disana dan memperkerjakan 1 orang asisten bagian administrasi. Mulai dari membersihkan galeri, menemui art lover, mengurus surat-surat, display hingga packing. Selebihnya, bila mereka membutuhkan tenaga tambahan, mereka menambahkan sebagai outsourcing. Posisi galeri ini sangat strategis karena berada di pusat bisnis di Vickers Street, Parap Village, Northen Territory, Australia. Meski pun galeri ini terbilang kecil di wilayah tersebut (karena ada beberapa galeri besar yang berdampingan dengan Galeri Nomad); tetapi mereka juga mengerjakan banyak project berskala besar dan lintas negara dalam program-program mereka setiap tahunnya. Biasanya, project-project besar ini mereka selenggarakan di luar galeri. Nah, kemudian yang menarik adalah hampir setiap hari selalu ada karya seni grafis yang laku terjual di galeri tersebut. Peminat atau pembelinya kebanyakan justru bukan kolektor tetap mereka, tetapi wisatawan yang datang, mampir melihat-lihat dan kemudian menyukainya. Pilih ini atau itu, packing dan dibawa pulang. Saya sempat terheran-heran, betapa mudahnya menjual karya seni grafis di negara bagian ini. Sementara bila kita melihat pasar seni grafis Indonesia justru berkebalikan, sepi peminat, malah kadang diacuhkan karena nilai karyanya tak sama dengan karya seni rupa bermediakan acrylic atau oil. Hingga membuat teman-teman seniman seni grafis harus putar otak dan strategi agar karya seni grafis mereka bisa setara apresiasinya dengan karya seni rupa; kemudian muncul monoprint atau karya printmaking kombinasi handcoloring dan seturutnya. Terbersit keinginan kala itu, saya ingin sekali membawa karya teman-teman grafis Indonesia untuk bisa presentasi atau cukup konsinyasi saja di galeri tersebut. Saya yakin, pasti lebih bagus, pasti lebih disukai dan pasti cepat terjual. Ini dari sisi penjualan atau pemasaran karya. Mari kita melihat sudut pandang lain, mengapa karya-karya seni grafis menjadi lebih mudah terjual disana. Saat ketika magang tersebut, Galeri Nomad sedang memamerkan karya seni grafis karya suku Aborigin. Pada saat yang berdekatan, Galeri Nomad juga mengelola pameran kontemporer karya tekstil dan seni grafis dari suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang berjudul ‘Ta Teut Amarasi Awakening’. Merupakan program kerjasama antara Northen Territory dengan Indonesia Timur, kerjasama antara Asialink di Universitas Melbourne bersama dengan Yayasan Kelola di Jakarta. Galeri Nomad concern dengan karya-karya bermuatan tradisi kental, salah satunya adalah karya-karya seni grafis dari suku Aborigin dan suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang kebetulan menjadi obyek penulisan ini. Mereka sangat menghargai seni tradisi, karena mereka sudah kehilangan akar sejarah asli. Mereka terus mencari sejarah asli milik Australia. Mereka seperti haus akan sejarah nenek moyang beserta adat istiadat, produk-produk kebudayaan dan tradisi yang menyertainya. Sehingga perlakuan mereka terhadap karya-karya tradisi seakan sangat sakral dan mendapat penghargaan yang tinggi. Demikianlah ketika sebuah bangsa mulai kehilangan ruh tradisi, mereka kemudian terus mencari dan menghargainya hingga sedemikian rupa. Bagi suku-suku seperti Aborigin dan Amarasi, mereka menggunakan teknik-teknik seni grafis untuk melegendakan motif-motif kesukuan mereka menjadi sebuah warisan berharga untuk anak keturunannya. Maka ketika Syahrizal Pahlevi menyatakan kepada saya suatu hari, membicarakan niatan dia bahwa Jogja International Mini Prints Festival atau Biennale menjadi sebuah ‘budaya’, tanpa berpikir panjang langsung saya iyakan dan saya sangat mendukungnya. Niatan untuk membentuk kebudayaan atas apresiasi atau penghargaan terhadap karya-karya seni grafis yang berukuran kecil. Dan terlebih niatan untuk mengembangkan karya seni grafis itu sendiri hingga skala internasional. Niatan dan mimpi besar namun dengan presentasi karya-karya yang mini, saya amini tak akan menyurutkan semangat seorang Syahrizal Pahlevi yang militan. Dengan kolaborasi dari berbagai komunitas seni grafis yang jamak teknik dan banyak di Yogyakarta, helatan ini merupakan sebuah gerakan kebudayaan yang patut didukung banyak pihak dan lintas budaya. Membentuk sebuah kebudayaan memang tidak mudah dan tidak cepat. Semoga niatan ini menjadi sebuah kenyataan, sama seperti apa yang saya rasakan saat melewatkan hari-hari magang di Darwin kala itu. (Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management) |
leaflet_jimpf2013_complete_page_1-8.pdf | |
File Size: | 1509 kb |
File Type: |
Introduction
JIMPF
Pra Biennale – JOGJA INTERNATIONAL MINI PRINT FESTIVAL (JIMPF) 2013 is planned as a different kind of event and as the start a new art tradition in Yogyakarta. The Festival is also meant to stimulate Jogjakarta printmakers to become more actively involved in printmaking on a global scale. JIMPF was initiated by Teras Print Studio in cooperation with Tirana Art Management and is supported by the larger Yogyakarta printmaking community.
The selection process for JIMPF is open and non-juried in order to attract participants from both Indonesia and abroad. Participants can choose from a number of activities including the main Mini Print Exhibit, conferences, technical demonstrations, printmaking workshops, and performance art. The registrations fees for various events are intended to defray the operational costs of the Festival. JIMPF can be described as “semi-self funded - “from, by, and for artists themselves”. JIMPF will take place from 15 to 30 November 2013. The main exhibit, conferences, demonstrations, and performance art will take place at the ISI Gallery (Institut Seni Indonesia/Indonesian Academy of Art Yogyakarta). Workshops will be held at ISI as well as other locations including Grafis Minggiran, Krack Studio, and Teras Print Studio – all located in the city of Yogyakarta.
The Pra Biennale-JIMPF 2013 is conceived as a ‘warm up’ event to be carried out before the long awaited the First Jogja International Mini Print Biennale (jIBMF) 2014 which is scheduled to take place in 2014. As a pre-event or ‘Pra-Biennale’ JIMPF 2013 is quite ambitious. The original goal was to attract at least 100 participants, 20 from abroad and 80 from Indonesia, but registration has already exceeded that target. As of the 15 October registration deadline and before this brochure was printed more than 170 artists had registered including about 30 international participants from Australia (5), the US (3), Europe (2), Mexico (1), Malaysia (5), Philipina (18) and Indonesian artists from Jakarta, Bandung, Surabaya, and Bali. The most popular category with the largest number of participants is the Mini Print Exhibit though participants have also registered for conferences, technical demonstrations, and performance art. The workshops are being organized by the individual studios conducting the workshops and enrolment data is available from the studios themselves.
Why mini prints? Mini prints are unpretentious works of art and although small (most are 20cm x 25 cm or even smaller) their significance should not be underestimated. In the practice of printmaking itself mini prints are an intimate expression. Precisely through this small format printmakers can focus their attention and explore in detail the rich traditions of printmaking. Many printmakers began their careers with mini-prints and many have continued to work in this format while also exploring other techniques and formats. Thus in the history of printmaking mini-prints have always had a place. The richness of this format can be seen from the works submitted to the main mini print exhibit including techniques such as Etching, Aluminium Etching, Drypoint, Aquatint, Solar Plate Etching, Sugarlight, Mezzotint, Ala poupe Etching, China Colle, Carborundum, Blind Embosing, Woodcut, Reduction Woodcut, Linocut, Collagraph, Mokuhanga, Stone Lithography, Aluminium Lithography, Kitchen Lithography, Monotype, Monoprint, Photo Intaglio, Stencil, Silk Screen, as well as combinations of various techniques.
Two special guests have been invited to give a boost of energy to this event where they will give special presentations in the conference section: Master Printer Devy Ferdianto from Bandung whose technical mastery and dedication to printmaking, including his efforts to establish a professional printmaking studio in Bandung, are well known and Etiaro Ogawa, Chief Printer and Program Leader, Singapore Tyler Print Institute (STPI), Singapore. The presence of a technical master from STPI is an honor, especially in view of STPI’s growing reputation as a center of printmaking excellence. We are grateful to dr. Oei Hong Djien who encouraged STPI’s participation JIMPF 2013.
JIMPF 2013 is a printmaking event which will prepare artists and the public for future activities. The goal of JIMPF 2013 is to ensure that participants, the organizers, as well as the public are ready –physically and mentally - for a new tradition, the Jogja Mini-Print Biennale
(Syahrizal Pahlevi, Coordinator of JIMPF)
Translation by Jerry Chamberland
Pengantar JIMPF
Pra Biennale - JOGJA INTERNATIONAL MINI PRINT FESTIVAL (JIMPF) 2013 dirancang untuk memberikan sajian even berbeda dan membuat tradisi baru bagi seni rupa kota Yogyakarta. Kegiatan ini sekaligus sebagai perangsang bagi seni grafis Yogyakarta untuk terlibat aktif dalam pergaulan seni grafis dunia. Even ini digagas dan diorganisir oleh TERAS Print Studio yang bekerjasama dengan Tirana Art Management dan didukung oleh komunitas seni grafis Yogyakarta. JIMPF menerapkan sistim pendaftaran terbuka untuk menjaring peserta baik dalam maupun luar negeri. Peserta dapat memilih beberapa kegiatan untuk diikutinya yaitu: Pameran karya-karya mini print, Konferensi, Demonstrasi teknik, Performance art termasuk Workshop seni grafis. Panitia mengenakan biaya tertentu kepada peserta yang ikut serta sebagai subsidi untuk ikut membiayai sebagian keperluan kegiatan ini agar dapat terwujud dan disajikan kehadapan publik saat ini. Sehingga dapat dikatakan kegiatan ini bersifat semi mandiri, “dari, oleh dan untuk seniman sendiri”. JIMPF berlangsung dari tanggal 15 November sampai 30 November 2013 terpusat di Galeri ISI Yogyakarta untuk sesi pameran, konferensi, demonstrasi dan performance art. Sedangkan workshop tersebar di beberapa tempat, ada yang dilakukan di Galeri ISI Yogyakarta, ada pula yang dilakukan di studio Grafis Minggiran, Krack Studio dan TERAS Print Studio yang kesemuanya berada di kota Yogyakarta.
JIMPF 2013 sebenarnya diselenggarakan sebagai ‘pemanasan’ sebelum menggelar even yang dicita-citakan yaitu “Jogja International Biennale Mini Print (JIBMP)” atau apapun namanya nantinya yang direncanakan untuk kali pertama akan dilaksanakan pada 2014 mendatang. Sebagai event ‘pendahuluan’ atau ‘pra biennale’, JIMPF 2013 yang semula ditargetkan dengan “cukup ambisius” karena berusaha dapat menggaet setidaknya mendekati angka 100 peserta dengan perkiraan 20 peserta internasional dan 80 peserta Indonesia ternyata diminati melebihi target yang dibuat. Sampai hari-hari terakhir mendekati deadline sebelum leaflet yang anda pegang ini naik cetak, angka peserta yang terdaftar mencapai 170an peserta dengan perincian ada 30an peserta internasional (Australia (6), USA (3), Eropa (2), Mexico (1), Malaysia (5) dan Philipina (18) dan 140an peserta dalam negeri yang tersebar dari Yogyakarta sendiri, Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Surabaya, Bali dan Makasar. Kategori yang diminati tentu saja terbanyak mengikuti pameran mini print, selebihnya beberapa ada yang tertarik mendaftar untuk kategori konferensi, demonstrasi teknik dan performance art. Untuk workshop kami tidak mendatanya karena pengelolaan dilakukan oleh studio atau kelompok peggrafis pemberi workshop itu sendiri.
Mengapa menghadirkan mini print? Karya-karya mini print adalah karya yang bersahaja. Sekalipun ukurannya kecil (kebanyakan ukuran bidang gambar karya tidak lebih dari 20 cm x25 cm bahkan lebih kecil lagi!), karya mini print tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Justru melalui format mini ini biasanya pegrafis fokus dan secara detail mengeksplorasi teknik printmaking yang kaya. Dalam tradisi printmaking sendiri, karya mini print adalah ungkapan yang intim. Banyak pegrafis mengawali karirnya lewat-karya-karya mini print ini dan tidak sedikit juga diantaranya tetap meneruskan berkarya dalam format tersebut diluar membuat karya dalam format lain. Jadi, sepanjang sejarah penciptaan seni grafis, karya-karya mini print tidak pernah kehilangan tempatnya. Mengenai kekayaan teknik seni grafis ini dapat disaksikan dari karya-karya peserta dalam kategori pameran yang menampilkan berbagai teknik seperti: Etching, Aluminium Etching, Drypoint, Aquatint, Solar Plate Etching, Sugarlight, Mezzotint, Ala poupe Etching, China Colle, Carborundum, Blind Embosing, Woodcut, Reduction Woodcut, Linocut, Collagraph, Mokuhanga, Stone Lithography, Aluminium Lithography, Kitchen Lithography, Monotype, Monoprint, Photo Intaglio, Stencil, Silk Screen atau kombinasi beberapa teknik.
Dalam kesempatan ini, kami sengaja mengundang 2 orang tamu untuk memberi ‘energi’ dalam kegiatan ini dimana mereka akan memberikan presentasi khusus dalam sesi konferensi. Tamu undangan tersebut adalah Master Printer Devy Ferdianto dari Bandung yang dedikasi dan kepakaran tekniknya tidak diragukan lagi termasuk pengalamannya jatuh bangun merintis studio grafis profesional di Bandung dan Mr. Eitaro Ogawa, Chief Printer dan Program Leader di Singapore Tyler Print Institut (STPI), Singapore. Kedatangan seseorang yang kompeten dari STPI adalah kehormatan dalam even ini mengingat pengaruh, nama besar dan aktivitas STPI belakangan ini. Kami mengucapkan terima kasih untuk bantuan bapak dr. Oei Hong Djien yang bersedia meyakinkan pihak STPI agar mau memenuhi undangan kami.
JIMPF 2013 adalah even seni grafis yang bertujuan mengondisikan seniman dan publik kepada kegiatan berkala yang akan dibuat setelahnya. Sasarannya adalah agar ada cukup kesiapan fisik dan mental baik dari pihak penyelenggara, peserta maupun publik ketika dihadapkan sebuah tradisi baru: “tradisi biennale mini print”.
(Syahrizal Pahlevi, koordinator pelaksana JIMPF 2013)
Ah, Merdeka…!
By Hendro Wiyanto
It has been said, at least since 2003, that the practice of graphic arts in Indonesia has received concrete support through Bentara Budaya’s ongoing support to the Indonesian Graphic Arts Triennale. This support is important because through this periodic event we can observe the accomplishments of Indonesian graphic artists. Of course, people may scream and shout and attempt to spark enthusiasm through various strange statements or manifestos. Nonetheless, involvement and real practice, not just talk, promises results which will be ongoing and not impromptu. Indeed, this is truly what we are waiting for from artists.
Looking back briefly, the development of graphic art in Indonesia is an interesting story; at the dawn of modern Indonesian art we note the names of figures such as Sudjojono, Trisno Sumardjo, and Rivai Apin. In graphic arts of course we need to mention a number of prominent artists like Mochtar Apin, Baharudin Marasutan, and Suromo. In his time Sudjojono kindled the spirit of nationalism and proclaimed his opposition to the Mooie Indies (‘Beautiful Indies’) school of colonial/orientalist painting. On the other hand, the pioneers of Indonesian graphic art carried out ‘soft diplomacy’ through an album of prints, lineographs, monumental “political” works. The album of prints – consisting of 19 lino cut works of Marasutan and Apin- were sent to a number of friendly countries which recognized Indonesia’s sovereignty and independence. Published by the Youth Bureau of the Ministry of Foreign Affairs, the album was published in an edition of 36 impressions on 17 August 1946 in commemoration of the first anniversary of Indonesia’s independence.
In a spirit of great optimism Sutan Takdir Alisjahbana, contributed the forward to the album saying “a young nation is knocking at the door of humanity, asking for respect, asking for help in their struggle for the noble rights of humanity; transforming themselves in their relationships between nations”. It can be said that through lineographs and the echo of Takdir’s voice, truly Indonesian graphic art, unlike painting, was never colonized. Through their work, whether consciously or not, graphic artists in fact had already declared themselves part of a free nation.
But it appears that the independence of graphic art or the practice of art since 1946 did not immediately give rise to an independent attitude on the part of artists in the post independence period. Indonesian graphic artists – from the beginning only a small number of people – drifted away from graphic art and its special characteristics and range of technical expressions and were lost from view. Associations, groups, exhibitions, foundations, and other groups came and went. Some represented only the wishes or dreams of various people and were never realized. Of course, training in graphic arts is still part of the higher education system but we know that efforts to develop art education are generally carried out only half-heartedly. The principal constraint, for example, is the lack of basic equipment, but there is no serious effort to overcome these limitations. Graphic artists often feel a lack of confidence about their own work. Even more, we devalue graphic art, putting it in the same class as ‘calendar art’, forgetting an important aspect of authentic human activity, namely, “thinking with dirty hands”.
Of course there are always exceptions or even deviations from this pattern but this is rare; for example, the brilliant serigraphs done in the 1970s by artists from the Decenta group in Bandung. There have always been young artists, although not many, working in this medium in Yogyakarta. Recently there have even been one or two groups of graphic artists working on a number of graphic arts projects .
The lack of support, minimal appreciation, and a social domain which absorbs what the market offers are of course factors which determine the future of this field of art. Thus it is appropriate to say that at least two types or disasters will continue to haunt us. The first is the threat of natural or environmental disaster arising from Indonesia’s geographical position of the Ring of Fire and the second is the artistic environment, a disaster of graphic art which once gave us the sense of a free people.
For people who saw the film Soegija the murmur of these words might still reverberate: “What is the meaning of freedom if we do not succeed in educating ourselves?” This question can well be asked of graphic artists: What does the proclamation of independence mean in graphic art in the past if artists now have lost their self confidence, even more if they are not able to align themselves with developments in other branches of art? “Unable to educate ourselves” with all the uniqueness and richness of their own medium?
Do we believe that the uniqueness of the medium of graphic art will produce monotonous feeling of woodcuts or neutral feelings towards the surface which will be carved? Will the richness of techniques such as intaglio, aquatint, etching, and dry point, for example, only give rise to a feeling of coldness from the flat surface? The uniqueness of the medium should not create monotony, uniformity or specialization which ignores other possibilities. What is needed and should be understood through uniqueness is a valuable lesson which arises from discipline and the depth of the medium in the limitations and life space itself. In other words, struggling with the medium is not anti- experimental but understanding foundations, through work which is reaches for the limits of its own sphere. Is it not that the case that this has not yet been truly explored and understood and the results demonstrated by the work of most graphic artists?
Is it not freedom and self reliance that has seems Oas if it has been lost from the treasure house of Indonesian graphic arts?
Ah, merdeka…(Hendro Wiyanto, art writer/critic)
Translation by Jerry Chamberland.
Ah, Merdeka…!
Oleh Hendro Wiyanto
Orang mengatakan, setidaknya sejak 2003 praktik seni grafis di Indonesia memperoleh dukungan nyata melalui penyelenggaraan berkesinambungan Trienal Seni Grafis Indonesia oleh lembaga bernama Bentara Budaya. Sokongan itu penting, melalui agenda yang teratur itu kita dapat melihat pencapaian dan hasil pekerjaan para seniman grafis kita. Tentu boleh orang berkoar, menggugah semangat dengan pernyataan yang aneh-aneh atau macam-macam. Namun keterlibatan dan praktik nyata, yang bukan angin-anginan, menjanjikan hasil pekerjaan yang berkesinambungan dan tidak sekadarnya, itulah agenda kerja yang sesungguhnya kita tunggu dari para seniman.
Menengok sebentar ke belakang, cerita perkembangan seni grafis di Indonesia menyimpan kisah menarik. Kita mencatat nama-nama tokoh seperti Sudjojono, Trisno Sumardjo dan Rivai Apin dalam fajar perkembangan seni lukis modern kita. Pada seni grafis, kita tentunya perlu berpaling pada sejumlah seniman terkemuka seperti Mochtar Apin, Baharudin Marasutan dan Suromo. Melalui seni lukis, pada masanya Sudjojono mengobarkan semangat nasionalisme dan memaklumkan permusuhannya dengan lukisan-lukisan kolonial-orientalis bernama Mooie Indie. Sebaliknya, para perintis seni grafis kita melakukan diplomasi lunak melalui sebuah album cetakan grafis, lineographs, karya “politik” yang monumental itu. Album cetakan grafis itu – terdiri dari 19 buah cukilan lino, karya Marasutan dan Apin- dikirimkan ke sejumlah negara sahabat yang mengakui kemerdekaan serta kedaulatan RI. Diterbitkan oleh Urusan Pemuda Perhubungan Luar Negeri, karya itu dicetak sebanyak 36 edisi,
sebagai peringatan genap setahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1946.
Sutan Takdir Alisjahbana dengan rasa optimis yang besar memberikan kata pengantar pada album itu, di antaranya menulis begini: “satu bangsa yang muda mengetuk di pintu perikemanusiaan minta penghargaan, minta bantuan untuk perjuangannya dalam merebut hak manusia yang termulia: menjelmakan diri sendiri dalam pergaulan antar-bangsa.” Baiklah kita katakan, melalui lineographs dan gaung suara Takdir, sejatinya seni grafis (kita) tak pernah merasa diri terjajah seperti halnya seni lukis. Melalui seni grafis, disadari atau tidak, para seniman justru sekaligus sudah menyatakan diri sebagai bagian dari bangsa merdeka.
Tapi agaknya, kemerdekaan seni grafis atau sebutlah rasa-merasa praktik seni rupa yang merdeka sejak 1946 itu tidak serta merta melahirkan sikap merdeka para senimannya di cecabang itu pasca-kemerdekaan. Para pegrafis kita – yang jumlahnya memang sedikit sejak mula- surut dari gelanggang, karya-karya grafis dengan kekhasan dan ragam teknik ungkapan, menghilang dari pandangan kita. Asosiasi, kumpulan, pameran, rencana kerja, yayasan, dan lain-lain, datang lalu pergi. Sebagian lagi hanya berupa keinginan atau impian sejumlah orang yang tak pernah benar-benar terwujud. Tentu saja, pendidikan seni grafis masih ada di lingkungan pendidikan tinggi sampai sekarang. Tetapi kita tahu, upaya pengembangan umumnya dilakukan setengah hati, kendalanya yang paling pokok, misalnya peralatan yang memadai, tak sungguh-sungguh ingin diatasi. Mereka yang terlanjur tercebur di dalamnya sering tak merasa yakin dengan pekerjaan mereka sendiri. Kelak, kita bahkan lebih suka
meremehkan karya grafis sekelas cetakan kalender, seraya melupakan sisi penting dari kegiatan manusiawi yang hakiki, yakni “berpikir dengan tangan-tangan kotor”.
Tentu saja selalu ada perkecualian atau penyimpangan bahkan. Tapi itu pun agaknya jarang pula ditengok. Misalnya saja, hasil-hasil pekerjaan sangat cemerlang dari masa 70-an berupa serangkaian karya serigrafi dari seniman-seniman grup Decenta di Bandung. Pun, di Jogja selalu ada, kendati tidak banyak, seniman-seniman muda yang menekuni medium ini, dan belakangan malah telah muncul satu dua kelompok pegrafis yang mengupayakan sejumlah proyek seni grafis.
Langkanya pendukung, minimnya penghargaan dari medan sosial berupa penyerapan pasar, tentunya merupakan faktor yang ikut menentukan jatuh-bangun cabang seni ini. Maka, selayaknya kita mengatakan, setidaknya ada dua jenis mala atau bencana yang akan terus menghantui kita. Yang pertama adalah bencana alam sebagai risiko hidup di tengah lingkungan cincin api, dan yang kedua, di lingkungan seni rupa, bencana seni grafis yang pernah memberi kita rasa-merasa sebagai bangsa merdeka.
Para penonton film Soegija mungkin masih terngiang akan gaung kata-kata ini: “Apa arti merdeka kalau kita tidak berhasil mendidik diri sendiri?” Pertanyaan itu kiranya boleh kita ajukan kepada para pegrafis: apa makna proklamasi kemerdekaan melalui cabang seni grafis di masa lalu, kalau para pegrafis di masa kini justru kehilangan rasa percaya diri, pula tak sanggup menyejajarkan diri dengan kemajuan ragam seni yang lain? “Tidak berhasil mendidik diri sendiri” dengan kekhasan sekaligus kekayaan mediumnya sendiri?
Apakah kita percaya bahwa kekhasan medium pada seni grafis cuma akan menghasilkan monotoni rasa cukilan kayu, atau rasa hambar sebilah papan yang dicukil? Apakah kekayan teknik-teknik intaglio, aquatint, etsa maupun dry point, misalnya cuma akan melahirkan cita rasa dingin dari lempengan datar pelat yang digores di permukaan? Kekhasan medium bukanlah demi menciptakan monotoni, keseragaman atau spesialisasi yang tak mau tahu dengan kemungkinan lain. Yang mau dan sebaiknya dipahami melalui kekhasan adalah pelajaran berharga yang lahir dari disiplin sekaligus kedalaman medium itu sendiri, dalam batas-batas dan ruang hidupnya sendiri. Dengan kata lain, menggeluti medium bukanlah anti percobaan, tapi memahami dasar-dasarnya, melalui pekerjaan yang lebih tuntas pada aras dunianya sendiri. Bukankah itu yang belum sungguh-sungguh digali, dikenali dan ditunjukkan hasilnya oleh kebanyakan pegrafis kita?
Bukankah kemerdekaan dan kemandirian itu yang selama ini terasa hilang dari khasanah seni grafis kita? Ah, merdeka…+++ (Hendro Wiyanto, penulis seni rupa)
Developing a Culture of Printmaking
By Nunuk Ambarwati
Whether by coincidence or not, an internship experience at a commercial gallery in Australia in 2008 provides an interesting comparison between the world of graphic art in Indonesia and Australia. At that time I had the opportunity to intern for a month at the Nomad Art Gallery, Darwin, NT, Australia (www.nomadart.com.au). The gallery was very basic; display space was limited and was shared between temporary exhibits and work on consignment. For exhibitions the space could only accommodate approximately 10 small pieces measuring about 30x 40 cm. Exhibit openings were intimate, personal, and warm because the space was small. The displays were simple, full of interesting consigned works, and elegantly arranged by the owner.
From the human resource and management point of view it was very effective because the gallery employed only three people. Managed by a husband a wife team who were dedicated to both the local and national art world, they employed just a single admin assistant. The three did everything from cleaning the building, meeting visitors, handling correspondence, arranging displays and packing work for shipment. If the owners needed additional personnel, it was out-sourced. The gallery was strategically located on Vickers St in the center of the business district in the village of Parap in Darwin. Although in comparison to other larger galleries nearby Nomad could be described as small, in the course of their annual program of activities they undertook many large national scale projects, usually carried out at other venues outside the gallery.
It is interesting that almost every day a work of graphic art was sold at the gallery. Most of the buyers were not regular customers or collectors but tourists who came in and liked what they saw. They chose something, had it packed, and took it home with them there and then. I was amazed; how easy it was to sell graphic art in the Northern Territory! However, if we look at the market for graphic art in Indonesia the situation is reversed. Few people are interested; in fact, graphic art is sometimes ignored because it does not have the same value as work in acrylic or oil and graphic artists need think hard to come up with strategies and innovations so that their work achieves the same level of appreciation as work in other media; for example, the development of monoprints or prints combining hand coloring and the like. From the point of view of sales or marketing I felt an urge to bring the work of Indonesian graphic artists for exhibition or just consignment to Nomad because I was sure it would be better appreciated and more quickly sold.
Let’s look at this from another angle: why does graphic art sell more easily in Australia, in a small gallery in the Northern Territory, than in Indonesia? At the time I was doing the internship Nomad Gallery was doing a show of graphic art of Australian Aboriginals. At almost the same time Nomad was also doing an exhibit of contemporary textiles and graphic art of the Amarasi people of East Nusa Tenggara titled “Ta Teut Amarasi Awakening” The exhibit was part of a cooperative program between the governments of the Northern Territory and East Nusa Tenggara and Asialink at the University of Melbourne and Yayasan Kelola (Kelola Foundation), Jakarta. Nomad has a strong focus on work with traditional themes including graphic works from the Amarasi and Aboriginal artists. Nomad is conscious of traditional art because Australians Aboriginals have already lost the roots of their original history and are searching for an authentic Australian history. It is as if they are thirsty for the history of their ancestors and their material culture and traditions. Thus traditional work is highly appreciated and treated as sacral. When a people sense the loss of the spirit of tradition they may then begin to try to recover it and appreciate it more. People such as Aboriginals and the Amarasi use graphic art techniques to immortalise their tribal motifs and create a valuable legacy for their descendants.
Some time ago when Syahrizal Pahlevi was discussing his hopes that the Jogja International Mini Prints Festival /Biennale would become an ongoing tradition I didn’t hesitate to offer my support to help shape a culture of appreciation for small-scale graphic work and to promote mini prints themselves on an international scale. Even though the works are small the hopes and dreams are big and I am certain the challenges will not erode the determination of the ‘militant’ printmaker Syahrizal Pahlevi. Together with a number of graphic arts communities in Yogyakarta, each employing different techniques and approaches, the festival is a movement across conventional cultural boundaries and deserves the support of everyone. Developing a cultural tradition is not quick or easy. Let us hope this dream becomes a reality, like what I experienced during my days as an intern in Darwin
Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management)
Translation by Jerry Chamberland.
Membangun Budaya Seni Grafis
Oleh Nunuk Ambarwati
Entah sebuah kebetulan atau bukan, pengalaman magang di sebuah galeri komersial di Darwin, Australia (2008) menjadi perbandingan yang menarik tentang dunia seni grafis antara Indonesia-Darwin. Saat itu, saya berkesempatan magang selama kurang lebih 1 bulan di Galeri Nomad (Nomad Art Gallery, www.nomadart.com.au) Darwin, NT, Australia. Galeri ini boleh dibilang sangat sederhana, baik dari fasilitas yang ia miliki sebagai sebuah ruang pamer, karena luasnya tak seberapa, itu pun bergabung antara display pameran dengan display karya konsinyasi. Bila sedang ada pameran disana, hanya muat sekitar 10 karya berukuran kecil sekitar 30 x 40 cm saja. Pembukaan pamerannya pun sangat intim, personal dan hangat karena memang ruangan yang tersedia tidak besar. Dengan display yang simple, penuh karya-karya konsinyasi menarik tapi tetap ditata elegan style si pemilik.
Dari sisi manajemen pun sangat efektif, karena hanya ada 3 orang yang bekerja disana. Galeri ini dikelola oleh sepasang suami istri yang sangat berdedikasi terhadap dunia seni rupa disana dan memperkerjakan 1 orang asisten bagian administrasi. Mulai dari membersihkan galeri, menemui art lover, mengurus surat-surat, display hingga packing. Selebihnya, bila mereka membutuhkan tenaga tambahan, mereka menambahkan sebagai outsourcing. Posisi galeri ini sangat strategis karena berada di pusat bisnis di Vickers Street, Parap Village, Northen Territory, Australia. Meski pun galeri ini terbilang kecil di wilayah tersebut (karena ada beberapa galeri besar yang berdampingan dengan Galeri Nomad); tetapi mereka juga mengerjakan banyak project berskala besar dan lintas negara dalam program-program mereka setiap tahunnya. Biasanya, project-project besar ini mereka selenggarakan di luar galeri.
Nah, kemudian yang menarik adalah hampir setiap hari selalu ada karya seni grafis yang laku terjual di galeri tersebut. Peminat atau pembelinya kebanyakan justru bukan kolektor tetap mereka, tetapi wisatawan yang datang, mampir melihat-lihat dan kemudian menyukainya. Pilih ini atau itu, packing dan dibawa pulang. Saya sempat terheran-heran, betapa mudahnya menjual karya seni grafis di negara bagian ini. Sementara bila kita melihat pasar seni grafis Indonesia justru berkebalikan, sepi peminat, malah kadang diacuhkan karena nilai karyanya tak sama dengan karya seni rupa bermediakan acrylic atau oil. Hingga membuat teman-teman seniman seni grafis harus putar otak dan strategi agar karya seni grafis mereka bisa setara apresiasinya dengan karya seni rupa; kemudian muncul monoprint atau karya printmaking kombinasi handcoloring dan seturutnya. Terbersit keinginan kala itu, saya ingin sekali membawa karya teman-teman grafis Indonesia untuk bisa presentasi atau cukup konsinyasi saja di galeri tersebut. Saya yakin, pasti lebih bagus, pasti lebih disukai dan pasti cepat terjual. Ini dari sisi penjualan atau pemasaran karya.
Mari kita melihat sudut pandang lain, mengapa karya-karya seni grafis menjadi lebih mudah terjual disana. Saat ketika magang tersebut, Galeri Nomad sedang memamerkan karya seni grafis karya suku Aborigin. Pada saat yang berdekatan, Galeri Nomad juga mengelola pameran kontemporer karya tekstil dan seni grafis dari suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang berjudul ‘Ta Teut Amarasi Awakening’. Merupakan program kerjasama antara Northen Territory dengan Indonesia Timur, kerjasama antara Asialink di Universitas Melbourne bersama dengan Yayasan Kelola di Jakarta. Galeri Nomad concern dengan karya-karya bermuatan tradisi kental, salah satunya adalah karya-karya seni grafis dari suku Aborigin dan suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang kebetulan menjadi obyek penulisan ini. Mereka sangat menghargai seni tradisi, karena mereka sudah kehilangan akar sejarah asli. Mereka terus mencari sejarah asli milik Australia. Mereka seperti haus akan sejarah nenek moyang beserta adat istiadat, produk-produk kebudayaan dan tradisi yang menyertainya. Sehingga perlakuan mereka terhadap karya-karya tradisi seakan sangat sakral dan mendapat penghargaan yang tinggi. Demikianlah ketika sebuah bangsa mulai kehilangan ruh tradisi, mereka kemudian terus mencari dan menghargainya hingga sedemikian rupa. Bagi suku-suku seperti Aborigin dan Amarasi, mereka menggunakan teknik-teknik seni grafis untuk melegendakan motif-motif kesukuan mereka menjadi sebuah warisan berharga untuk anak keturunannya.
Maka ketika Syahrizal Pahlevi menyatakan kepada saya suatu hari, membicarakan niatan dia bahwa Jogja International Mini Prints Festival atau Biennale menjadi sebuah ‘budaya’, tanpa berpikir panjang langsung saya iyakan dan saya sangat mendukungnya. Niatan untuk membentuk kebudayaan atas apresiasi atau penghargaan terhadap karya-karya seni grafis yang berukuran kecil. Dan terlebih niatan untuk mengembangkan karya seni grafis itu sendiri hingga skala internasional. Niatan dan mimpi besar namun dengan presentasi karya-karya yang mini, saya amini tak akan menyurutkan semangat seorang Syahrizal Pahlevi yang militan. Dengan kolaborasi dari berbagai komunitas seni grafis yang jamak teknik dan banyak di Yogyakarta, helatan ini merupakan sebuah gerakan kebudayaan yang patut didukung banyak pihak dan lintas budaya. Membentuk sebuah kebudayaan memang tidak mudah dan tidak cepat. Semoga niatan ini menjadi sebuah kenyataan, sama seperti apa yang saya rasakan saat melewatkan hari-hari magang di Darwin kala itu. (Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management)
Pra Biennale – JOGJA INTERNATIONAL MINI PRINT FESTIVAL (JIMPF) 2013 is planned as a different kind of event and as the start a new art tradition in Yogyakarta. The Festival is also meant to stimulate Jogjakarta printmakers to become more actively involved in printmaking on a global scale. JIMPF was initiated by Teras Print Studio in cooperation with Tirana Art Management and is supported by the larger Yogyakarta printmaking community.
The selection process for JIMPF is open and non-juried in order to attract participants from both Indonesia and abroad. Participants can choose from a number of activities including the main Mini Print Exhibit, conferences, technical demonstrations, printmaking workshops, and performance art. The registrations fees for various events are intended to defray the operational costs of the Festival. JIMPF can be described as “semi-self funded - “from, by, and for artists themselves”. JIMPF will take place from 15 to 30 November 2013. The main exhibit, conferences, demonstrations, and performance art will take place at the ISI Gallery (Institut Seni Indonesia/Indonesian Academy of Art Yogyakarta). Workshops will be held at ISI as well as other locations including Grafis Minggiran, Krack Studio, and Teras Print Studio – all located in the city of Yogyakarta.
The Pra Biennale-JIMPF 2013 is conceived as a ‘warm up’ event to be carried out before the long awaited the First Jogja International Mini Print Biennale (jIBMF) 2014 which is scheduled to take place in 2014. As a pre-event or ‘Pra-Biennale’ JIMPF 2013 is quite ambitious. The original goal was to attract at least 100 participants, 20 from abroad and 80 from Indonesia, but registration has already exceeded that target. As of the 15 October registration deadline and before this brochure was printed more than 170 artists had registered including about 30 international participants from Australia (5), the US (3), Europe (2), Mexico (1), Malaysia (5), Philipina (18) and Indonesian artists from Jakarta, Bandung, Surabaya, and Bali. The most popular category with the largest number of participants is the Mini Print Exhibit though participants have also registered for conferences, technical demonstrations, and performance art. The workshops are being organized by the individual studios conducting the workshops and enrolment data is available from the studios themselves.
Why mini prints? Mini prints are unpretentious works of art and although small (most are 20cm x 25 cm or even smaller) their significance should not be underestimated. In the practice of printmaking itself mini prints are an intimate expression. Precisely through this small format printmakers can focus their attention and explore in detail the rich traditions of printmaking. Many printmakers began their careers with mini-prints and many have continued to work in this format while also exploring other techniques and formats. Thus in the history of printmaking mini-prints have always had a place. The richness of this format can be seen from the works submitted to the main mini print exhibit including techniques such as Etching, Aluminium Etching, Drypoint, Aquatint, Solar Plate Etching, Sugarlight, Mezzotint, Ala poupe Etching, China Colle, Carborundum, Blind Embosing, Woodcut, Reduction Woodcut, Linocut, Collagraph, Mokuhanga, Stone Lithography, Aluminium Lithography, Kitchen Lithography, Monotype, Monoprint, Photo Intaglio, Stencil, Silk Screen, as well as combinations of various techniques.
Two special guests have been invited to give a boost of energy to this event where they will give special presentations in the conference section: Master Printer Devy Ferdianto from Bandung whose technical mastery and dedication to printmaking, including his efforts to establish a professional printmaking studio in Bandung, are well known and Etiaro Ogawa, Chief Printer and Program Leader, Singapore Tyler Print Institute (STPI), Singapore. The presence of a technical master from STPI is an honor, especially in view of STPI’s growing reputation as a center of printmaking excellence. We are grateful to dr. Oei Hong Djien who encouraged STPI’s participation JIMPF 2013.
JIMPF 2013 is a printmaking event which will prepare artists and the public for future activities. The goal of JIMPF 2013 is to ensure that participants, the organizers, as well as the public are ready –physically and mentally - for a new tradition, the Jogja Mini-Print Biennale
(Syahrizal Pahlevi, Coordinator of JIMPF)
Translation by Jerry Chamberland
Pengantar JIMPF
Pra Biennale - JOGJA INTERNATIONAL MINI PRINT FESTIVAL (JIMPF) 2013 dirancang untuk memberikan sajian even berbeda dan membuat tradisi baru bagi seni rupa kota Yogyakarta. Kegiatan ini sekaligus sebagai perangsang bagi seni grafis Yogyakarta untuk terlibat aktif dalam pergaulan seni grafis dunia. Even ini digagas dan diorganisir oleh TERAS Print Studio yang bekerjasama dengan Tirana Art Management dan didukung oleh komunitas seni grafis Yogyakarta. JIMPF menerapkan sistim pendaftaran terbuka untuk menjaring peserta baik dalam maupun luar negeri. Peserta dapat memilih beberapa kegiatan untuk diikutinya yaitu: Pameran karya-karya mini print, Konferensi, Demonstrasi teknik, Performance art termasuk Workshop seni grafis. Panitia mengenakan biaya tertentu kepada peserta yang ikut serta sebagai subsidi untuk ikut membiayai sebagian keperluan kegiatan ini agar dapat terwujud dan disajikan kehadapan publik saat ini. Sehingga dapat dikatakan kegiatan ini bersifat semi mandiri, “dari, oleh dan untuk seniman sendiri”. JIMPF berlangsung dari tanggal 15 November sampai 30 November 2013 terpusat di Galeri ISI Yogyakarta untuk sesi pameran, konferensi, demonstrasi dan performance art. Sedangkan workshop tersebar di beberapa tempat, ada yang dilakukan di Galeri ISI Yogyakarta, ada pula yang dilakukan di studio Grafis Minggiran, Krack Studio dan TERAS Print Studio yang kesemuanya berada di kota Yogyakarta.
JIMPF 2013 sebenarnya diselenggarakan sebagai ‘pemanasan’ sebelum menggelar even yang dicita-citakan yaitu “Jogja International Biennale Mini Print (JIBMP)” atau apapun namanya nantinya yang direncanakan untuk kali pertama akan dilaksanakan pada 2014 mendatang. Sebagai event ‘pendahuluan’ atau ‘pra biennale’, JIMPF 2013 yang semula ditargetkan dengan “cukup ambisius” karena berusaha dapat menggaet setidaknya mendekati angka 100 peserta dengan perkiraan 20 peserta internasional dan 80 peserta Indonesia ternyata diminati melebihi target yang dibuat. Sampai hari-hari terakhir mendekati deadline sebelum leaflet yang anda pegang ini naik cetak, angka peserta yang terdaftar mencapai 170an peserta dengan perincian ada 30an peserta internasional (Australia (6), USA (3), Eropa (2), Mexico (1), Malaysia (5) dan Philipina (18) dan 140an peserta dalam negeri yang tersebar dari Yogyakarta sendiri, Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Surabaya, Bali dan Makasar. Kategori yang diminati tentu saja terbanyak mengikuti pameran mini print, selebihnya beberapa ada yang tertarik mendaftar untuk kategori konferensi, demonstrasi teknik dan performance art. Untuk workshop kami tidak mendatanya karena pengelolaan dilakukan oleh studio atau kelompok peggrafis pemberi workshop itu sendiri.
Mengapa menghadirkan mini print? Karya-karya mini print adalah karya yang bersahaja. Sekalipun ukurannya kecil (kebanyakan ukuran bidang gambar karya tidak lebih dari 20 cm x25 cm bahkan lebih kecil lagi!), karya mini print tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Justru melalui format mini ini biasanya pegrafis fokus dan secara detail mengeksplorasi teknik printmaking yang kaya. Dalam tradisi printmaking sendiri, karya mini print adalah ungkapan yang intim. Banyak pegrafis mengawali karirnya lewat-karya-karya mini print ini dan tidak sedikit juga diantaranya tetap meneruskan berkarya dalam format tersebut diluar membuat karya dalam format lain. Jadi, sepanjang sejarah penciptaan seni grafis, karya-karya mini print tidak pernah kehilangan tempatnya. Mengenai kekayaan teknik seni grafis ini dapat disaksikan dari karya-karya peserta dalam kategori pameran yang menampilkan berbagai teknik seperti: Etching, Aluminium Etching, Drypoint, Aquatint, Solar Plate Etching, Sugarlight, Mezzotint, Ala poupe Etching, China Colle, Carborundum, Blind Embosing, Woodcut, Reduction Woodcut, Linocut, Collagraph, Mokuhanga, Stone Lithography, Aluminium Lithography, Kitchen Lithography, Monotype, Monoprint, Photo Intaglio, Stencil, Silk Screen atau kombinasi beberapa teknik.
Dalam kesempatan ini, kami sengaja mengundang 2 orang tamu untuk memberi ‘energi’ dalam kegiatan ini dimana mereka akan memberikan presentasi khusus dalam sesi konferensi. Tamu undangan tersebut adalah Master Printer Devy Ferdianto dari Bandung yang dedikasi dan kepakaran tekniknya tidak diragukan lagi termasuk pengalamannya jatuh bangun merintis studio grafis profesional di Bandung dan Mr. Eitaro Ogawa, Chief Printer dan Program Leader di Singapore Tyler Print Institut (STPI), Singapore. Kedatangan seseorang yang kompeten dari STPI adalah kehormatan dalam even ini mengingat pengaruh, nama besar dan aktivitas STPI belakangan ini. Kami mengucapkan terima kasih untuk bantuan bapak dr. Oei Hong Djien yang bersedia meyakinkan pihak STPI agar mau memenuhi undangan kami.
JIMPF 2013 adalah even seni grafis yang bertujuan mengondisikan seniman dan publik kepada kegiatan berkala yang akan dibuat setelahnya. Sasarannya adalah agar ada cukup kesiapan fisik dan mental baik dari pihak penyelenggara, peserta maupun publik ketika dihadapkan sebuah tradisi baru: “tradisi biennale mini print”.
(Syahrizal Pahlevi, koordinator pelaksana JIMPF 2013)
Ah, Merdeka…!
By Hendro Wiyanto
It has been said, at least since 2003, that the practice of graphic arts in Indonesia has received concrete support through Bentara Budaya’s ongoing support to the Indonesian Graphic Arts Triennale. This support is important because through this periodic event we can observe the accomplishments of Indonesian graphic artists. Of course, people may scream and shout and attempt to spark enthusiasm through various strange statements or manifestos. Nonetheless, involvement and real practice, not just talk, promises results which will be ongoing and not impromptu. Indeed, this is truly what we are waiting for from artists.
Looking back briefly, the development of graphic art in Indonesia is an interesting story; at the dawn of modern Indonesian art we note the names of figures such as Sudjojono, Trisno Sumardjo, and Rivai Apin. In graphic arts of course we need to mention a number of prominent artists like Mochtar Apin, Baharudin Marasutan, and Suromo. In his time Sudjojono kindled the spirit of nationalism and proclaimed his opposition to the Mooie Indies (‘Beautiful Indies’) school of colonial/orientalist painting. On the other hand, the pioneers of Indonesian graphic art carried out ‘soft diplomacy’ through an album of prints, lineographs, monumental “political” works. The album of prints – consisting of 19 lino cut works of Marasutan and Apin- were sent to a number of friendly countries which recognized Indonesia’s sovereignty and independence. Published by the Youth Bureau of the Ministry of Foreign Affairs, the album was published in an edition of 36 impressions on 17 August 1946 in commemoration of the first anniversary of Indonesia’s independence.
In a spirit of great optimism Sutan Takdir Alisjahbana, contributed the forward to the album saying “a young nation is knocking at the door of humanity, asking for respect, asking for help in their struggle for the noble rights of humanity; transforming themselves in their relationships between nations”. It can be said that through lineographs and the echo of Takdir’s voice, truly Indonesian graphic art, unlike painting, was never colonized. Through their work, whether consciously or not, graphic artists in fact had already declared themselves part of a free nation.
But it appears that the independence of graphic art or the practice of art since 1946 did not immediately give rise to an independent attitude on the part of artists in the post independence period. Indonesian graphic artists – from the beginning only a small number of people – drifted away from graphic art and its special characteristics and range of technical expressions and were lost from view. Associations, groups, exhibitions, foundations, and other groups came and went. Some represented only the wishes or dreams of various people and were never realized. Of course, training in graphic arts is still part of the higher education system but we know that efforts to develop art education are generally carried out only half-heartedly. The principal constraint, for example, is the lack of basic equipment, but there is no serious effort to overcome these limitations. Graphic artists often feel a lack of confidence about their own work. Even more, we devalue graphic art, putting it in the same class as ‘calendar art’, forgetting an important aspect of authentic human activity, namely, “thinking with dirty hands”.
Of course there are always exceptions or even deviations from this pattern but this is rare; for example, the brilliant serigraphs done in the 1970s by artists from the Decenta group in Bandung. There have always been young artists, although not many, working in this medium in Yogyakarta. Recently there have even been one or two groups of graphic artists working on a number of graphic arts projects .
The lack of support, minimal appreciation, and a social domain which absorbs what the market offers are of course factors which determine the future of this field of art. Thus it is appropriate to say that at least two types or disasters will continue to haunt us. The first is the threat of natural or environmental disaster arising from Indonesia’s geographical position of the Ring of Fire and the second is the artistic environment, a disaster of graphic art which once gave us the sense of a free people.
For people who saw the film Soegija the murmur of these words might still reverberate: “What is the meaning of freedom if we do not succeed in educating ourselves?” This question can well be asked of graphic artists: What does the proclamation of independence mean in graphic art in the past if artists now have lost their self confidence, even more if they are not able to align themselves with developments in other branches of art? “Unable to educate ourselves” with all the uniqueness and richness of their own medium?
Do we believe that the uniqueness of the medium of graphic art will produce monotonous feeling of woodcuts or neutral feelings towards the surface which will be carved? Will the richness of techniques such as intaglio, aquatint, etching, and dry point, for example, only give rise to a feeling of coldness from the flat surface? The uniqueness of the medium should not create monotony, uniformity or specialization which ignores other possibilities. What is needed and should be understood through uniqueness is a valuable lesson which arises from discipline and the depth of the medium in the limitations and life space itself. In other words, struggling with the medium is not anti- experimental but understanding foundations, through work which is reaches for the limits of its own sphere. Is it not that the case that this has not yet been truly explored and understood and the results demonstrated by the work of most graphic artists?
Is it not freedom and self reliance that has seems Oas if it has been lost from the treasure house of Indonesian graphic arts?
Ah, merdeka…(Hendro Wiyanto, art writer/critic)
Translation by Jerry Chamberland.
Ah, Merdeka…!
Oleh Hendro Wiyanto
Orang mengatakan, setidaknya sejak 2003 praktik seni grafis di Indonesia memperoleh dukungan nyata melalui penyelenggaraan berkesinambungan Trienal Seni Grafis Indonesia oleh lembaga bernama Bentara Budaya. Sokongan itu penting, melalui agenda yang teratur itu kita dapat melihat pencapaian dan hasil pekerjaan para seniman grafis kita. Tentu boleh orang berkoar, menggugah semangat dengan pernyataan yang aneh-aneh atau macam-macam. Namun keterlibatan dan praktik nyata, yang bukan angin-anginan, menjanjikan hasil pekerjaan yang berkesinambungan dan tidak sekadarnya, itulah agenda kerja yang sesungguhnya kita tunggu dari para seniman.
Menengok sebentar ke belakang, cerita perkembangan seni grafis di Indonesia menyimpan kisah menarik. Kita mencatat nama-nama tokoh seperti Sudjojono, Trisno Sumardjo dan Rivai Apin dalam fajar perkembangan seni lukis modern kita. Pada seni grafis, kita tentunya perlu berpaling pada sejumlah seniman terkemuka seperti Mochtar Apin, Baharudin Marasutan dan Suromo. Melalui seni lukis, pada masanya Sudjojono mengobarkan semangat nasionalisme dan memaklumkan permusuhannya dengan lukisan-lukisan kolonial-orientalis bernama Mooie Indie. Sebaliknya, para perintis seni grafis kita melakukan diplomasi lunak melalui sebuah album cetakan grafis, lineographs, karya “politik” yang monumental itu. Album cetakan grafis itu – terdiri dari 19 buah cukilan lino, karya Marasutan dan Apin- dikirimkan ke sejumlah negara sahabat yang mengakui kemerdekaan serta kedaulatan RI. Diterbitkan oleh Urusan Pemuda Perhubungan Luar Negeri, karya itu dicetak sebanyak 36 edisi,
sebagai peringatan genap setahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1946.
Sutan Takdir Alisjahbana dengan rasa optimis yang besar memberikan kata pengantar pada album itu, di antaranya menulis begini: “satu bangsa yang muda mengetuk di pintu perikemanusiaan minta penghargaan, minta bantuan untuk perjuangannya dalam merebut hak manusia yang termulia: menjelmakan diri sendiri dalam pergaulan antar-bangsa.” Baiklah kita katakan, melalui lineographs dan gaung suara Takdir, sejatinya seni grafis (kita) tak pernah merasa diri terjajah seperti halnya seni lukis. Melalui seni grafis, disadari atau tidak, para seniman justru sekaligus sudah menyatakan diri sebagai bagian dari bangsa merdeka.
Tapi agaknya, kemerdekaan seni grafis atau sebutlah rasa-merasa praktik seni rupa yang merdeka sejak 1946 itu tidak serta merta melahirkan sikap merdeka para senimannya di cecabang itu pasca-kemerdekaan. Para pegrafis kita – yang jumlahnya memang sedikit sejak mula- surut dari gelanggang, karya-karya grafis dengan kekhasan dan ragam teknik ungkapan, menghilang dari pandangan kita. Asosiasi, kumpulan, pameran, rencana kerja, yayasan, dan lain-lain, datang lalu pergi. Sebagian lagi hanya berupa keinginan atau impian sejumlah orang yang tak pernah benar-benar terwujud. Tentu saja, pendidikan seni grafis masih ada di lingkungan pendidikan tinggi sampai sekarang. Tetapi kita tahu, upaya pengembangan umumnya dilakukan setengah hati, kendalanya yang paling pokok, misalnya peralatan yang memadai, tak sungguh-sungguh ingin diatasi. Mereka yang terlanjur tercebur di dalamnya sering tak merasa yakin dengan pekerjaan mereka sendiri. Kelak, kita bahkan lebih suka
meremehkan karya grafis sekelas cetakan kalender, seraya melupakan sisi penting dari kegiatan manusiawi yang hakiki, yakni “berpikir dengan tangan-tangan kotor”.
Tentu saja selalu ada perkecualian atau penyimpangan bahkan. Tapi itu pun agaknya jarang pula ditengok. Misalnya saja, hasil-hasil pekerjaan sangat cemerlang dari masa 70-an berupa serangkaian karya serigrafi dari seniman-seniman grup Decenta di Bandung. Pun, di Jogja selalu ada, kendati tidak banyak, seniman-seniman muda yang menekuni medium ini, dan belakangan malah telah muncul satu dua kelompok pegrafis yang mengupayakan sejumlah proyek seni grafis.
Langkanya pendukung, minimnya penghargaan dari medan sosial berupa penyerapan pasar, tentunya merupakan faktor yang ikut menentukan jatuh-bangun cabang seni ini. Maka, selayaknya kita mengatakan, setidaknya ada dua jenis mala atau bencana yang akan terus menghantui kita. Yang pertama adalah bencana alam sebagai risiko hidup di tengah lingkungan cincin api, dan yang kedua, di lingkungan seni rupa, bencana seni grafis yang pernah memberi kita rasa-merasa sebagai bangsa merdeka.
Para penonton film Soegija mungkin masih terngiang akan gaung kata-kata ini: “Apa arti merdeka kalau kita tidak berhasil mendidik diri sendiri?” Pertanyaan itu kiranya boleh kita ajukan kepada para pegrafis: apa makna proklamasi kemerdekaan melalui cabang seni grafis di masa lalu, kalau para pegrafis di masa kini justru kehilangan rasa percaya diri, pula tak sanggup menyejajarkan diri dengan kemajuan ragam seni yang lain? “Tidak berhasil mendidik diri sendiri” dengan kekhasan sekaligus kekayaan mediumnya sendiri?
Apakah kita percaya bahwa kekhasan medium pada seni grafis cuma akan menghasilkan monotoni rasa cukilan kayu, atau rasa hambar sebilah papan yang dicukil? Apakah kekayan teknik-teknik intaglio, aquatint, etsa maupun dry point, misalnya cuma akan melahirkan cita rasa dingin dari lempengan datar pelat yang digores di permukaan? Kekhasan medium bukanlah demi menciptakan monotoni, keseragaman atau spesialisasi yang tak mau tahu dengan kemungkinan lain. Yang mau dan sebaiknya dipahami melalui kekhasan adalah pelajaran berharga yang lahir dari disiplin sekaligus kedalaman medium itu sendiri, dalam batas-batas dan ruang hidupnya sendiri. Dengan kata lain, menggeluti medium bukanlah anti percobaan, tapi memahami dasar-dasarnya, melalui pekerjaan yang lebih tuntas pada aras dunianya sendiri. Bukankah itu yang belum sungguh-sungguh digali, dikenali dan ditunjukkan hasilnya oleh kebanyakan pegrafis kita?
Bukankah kemerdekaan dan kemandirian itu yang selama ini terasa hilang dari khasanah seni grafis kita? Ah, merdeka…+++ (Hendro Wiyanto, penulis seni rupa)
Developing a Culture of Printmaking
By Nunuk Ambarwati
Whether by coincidence or not, an internship experience at a commercial gallery in Australia in 2008 provides an interesting comparison between the world of graphic art in Indonesia and Australia. At that time I had the opportunity to intern for a month at the Nomad Art Gallery, Darwin, NT, Australia (www.nomadart.com.au). The gallery was very basic; display space was limited and was shared between temporary exhibits and work on consignment. For exhibitions the space could only accommodate approximately 10 small pieces measuring about 30x 40 cm. Exhibit openings were intimate, personal, and warm because the space was small. The displays were simple, full of interesting consigned works, and elegantly arranged by the owner.
From the human resource and management point of view it was very effective because the gallery employed only three people. Managed by a husband a wife team who were dedicated to both the local and national art world, they employed just a single admin assistant. The three did everything from cleaning the building, meeting visitors, handling correspondence, arranging displays and packing work for shipment. If the owners needed additional personnel, it was out-sourced. The gallery was strategically located on Vickers St in the center of the business district in the village of Parap in Darwin. Although in comparison to other larger galleries nearby Nomad could be described as small, in the course of their annual program of activities they undertook many large national scale projects, usually carried out at other venues outside the gallery.
It is interesting that almost every day a work of graphic art was sold at the gallery. Most of the buyers were not regular customers or collectors but tourists who came in and liked what they saw. They chose something, had it packed, and took it home with them there and then. I was amazed; how easy it was to sell graphic art in the Northern Territory! However, if we look at the market for graphic art in Indonesia the situation is reversed. Few people are interested; in fact, graphic art is sometimes ignored because it does not have the same value as work in acrylic or oil and graphic artists need think hard to come up with strategies and innovations so that their work achieves the same level of appreciation as work in other media; for example, the development of monoprints or prints combining hand coloring and the like. From the point of view of sales or marketing I felt an urge to bring the work of Indonesian graphic artists for exhibition or just consignment to Nomad because I was sure it would be better appreciated and more quickly sold.
Let’s look at this from another angle: why does graphic art sell more easily in Australia, in a small gallery in the Northern Territory, than in Indonesia? At the time I was doing the internship Nomad Gallery was doing a show of graphic art of Australian Aboriginals. At almost the same time Nomad was also doing an exhibit of contemporary textiles and graphic art of the Amarasi people of East Nusa Tenggara titled “Ta Teut Amarasi Awakening” The exhibit was part of a cooperative program between the governments of the Northern Territory and East Nusa Tenggara and Asialink at the University of Melbourne and Yayasan Kelola (Kelola Foundation), Jakarta. Nomad has a strong focus on work with traditional themes including graphic works from the Amarasi and Aboriginal artists. Nomad is conscious of traditional art because Australians Aboriginals have already lost the roots of their original history and are searching for an authentic Australian history. It is as if they are thirsty for the history of their ancestors and their material culture and traditions. Thus traditional work is highly appreciated and treated as sacral. When a people sense the loss of the spirit of tradition they may then begin to try to recover it and appreciate it more. People such as Aboriginals and the Amarasi use graphic art techniques to immortalise their tribal motifs and create a valuable legacy for their descendants.
Some time ago when Syahrizal Pahlevi was discussing his hopes that the Jogja International Mini Prints Festival /Biennale would become an ongoing tradition I didn’t hesitate to offer my support to help shape a culture of appreciation for small-scale graphic work and to promote mini prints themselves on an international scale. Even though the works are small the hopes and dreams are big and I am certain the challenges will not erode the determination of the ‘militant’ printmaker Syahrizal Pahlevi. Together with a number of graphic arts communities in Yogyakarta, each employing different techniques and approaches, the festival is a movement across conventional cultural boundaries and deserves the support of everyone. Developing a cultural tradition is not quick or easy. Let us hope this dream becomes a reality, like what I experienced during my days as an intern in Darwin
Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management)
Translation by Jerry Chamberland.
Membangun Budaya Seni Grafis
Oleh Nunuk Ambarwati
Entah sebuah kebetulan atau bukan, pengalaman magang di sebuah galeri komersial di Darwin, Australia (2008) menjadi perbandingan yang menarik tentang dunia seni grafis antara Indonesia-Darwin. Saat itu, saya berkesempatan magang selama kurang lebih 1 bulan di Galeri Nomad (Nomad Art Gallery, www.nomadart.com.au) Darwin, NT, Australia. Galeri ini boleh dibilang sangat sederhana, baik dari fasilitas yang ia miliki sebagai sebuah ruang pamer, karena luasnya tak seberapa, itu pun bergabung antara display pameran dengan display karya konsinyasi. Bila sedang ada pameran disana, hanya muat sekitar 10 karya berukuran kecil sekitar 30 x 40 cm saja. Pembukaan pamerannya pun sangat intim, personal dan hangat karena memang ruangan yang tersedia tidak besar. Dengan display yang simple, penuh karya-karya konsinyasi menarik tapi tetap ditata elegan style si pemilik.
Dari sisi manajemen pun sangat efektif, karena hanya ada 3 orang yang bekerja disana. Galeri ini dikelola oleh sepasang suami istri yang sangat berdedikasi terhadap dunia seni rupa disana dan memperkerjakan 1 orang asisten bagian administrasi. Mulai dari membersihkan galeri, menemui art lover, mengurus surat-surat, display hingga packing. Selebihnya, bila mereka membutuhkan tenaga tambahan, mereka menambahkan sebagai outsourcing. Posisi galeri ini sangat strategis karena berada di pusat bisnis di Vickers Street, Parap Village, Northen Territory, Australia. Meski pun galeri ini terbilang kecil di wilayah tersebut (karena ada beberapa galeri besar yang berdampingan dengan Galeri Nomad); tetapi mereka juga mengerjakan banyak project berskala besar dan lintas negara dalam program-program mereka setiap tahunnya. Biasanya, project-project besar ini mereka selenggarakan di luar galeri.
Nah, kemudian yang menarik adalah hampir setiap hari selalu ada karya seni grafis yang laku terjual di galeri tersebut. Peminat atau pembelinya kebanyakan justru bukan kolektor tetap mereka, tetapi wisatawan yang datang, mampir melihat-lihat dan kemudian menyukainya. Pilih ini atau itu, packing dan dibawa pulang. Saya sempat terheran-heran, betapa mudahnya menjual karya seni grafis di negara bagian ini. Sementara bila kita melihat pasar seni grafis Indonesia justru berkebalikan, sepi peminat, malah kadang diacuhkan karena nilai karyanya tak sama dengan karya seni rupa bermediakan acrylic atau oil. Hingga membuat teman-teman seniman seni grafis harus putar otak dan strategi agar karya seni grafis mereka bisa setara apresiasinya dengan karya seni rupa; kemudian muncul monoprint atau karya printmaking kombinasi handcoloring dan seturutnya. Terbersit keinginan kala itu, saya ingin sekali membawa karya teman-teman grafis Indonesia untuk bisa presentasi atau cukup konsinyasi saja di galeri tersebut. Saya yakin, pasti lebih bagus, pasti lebih disukai dan pasti cepat terjual. Ini dari sisi penjualan atau pemasaran karya.
Mari kita melihat sudut pandang lain, mengapa karya-karya seni grafis menjadi lebih mudah terjual disana. Saat ketika magang tersebut, Galeri Nomad sedang memamerkan karya seni grafis karya suku Aborigin. Pada saat yang berdekatan, Galeri Nomad juga mengelola pameran kontemporer karya tekstil dan seni grafis dari suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang berjudul ‘Ta Teut Amarasi Awakening’. Merupakan program kerjasama antara Northen Territory dengan Indonesia Timur, kerjasama antara Asialink di Universitas Melbourne bersama dengan Yayasan Kelola di Jakarta. Galeri Nomad concern dengan karya-karya bermuatan tradisi kental, salah satunya adalah karya-karya seni grafis dari suku Aborigin dan suku Amarasi, Nusa Tenggara Timor yang kebetulan menjadi obyek penulisan ini. Mereka sangat menghargai seni tradisi, karena mereka sudah kehilangan akar sejarah asli. Mereka terus mencari sejarah asli milik Australia. Mereka seperti haus akan sejarah nenek moyang beserta adat istiadat, produk-produk kebudayaan dan tradisi yang menyertainya. Sehingga perlakuan mereka terhadap karya-karya tradisi seakan sangat sakral dan mendapat penghargaan yang tinggi. Demikianlah ketika sebuah bangsa mulai kehilangan ruh tradisi, mereka kemudian terus mencari dan menghargainya hingga sedemikian rupa. Bagi suku-suku seperti Aborigin dan Amarasi, mereka menggunakan teknik-teknik seni grafis untuk melegendakan motif-motif kesukuan mereka menjadi sebuah warisan berharga untuk anak keturunannya.
Maka ketika Syahrizal Pahlevi menyatakan kepada saya suatu hari, membicarakan niatan dia bahwa Jogja International Mini Prints Festival atau Biennale menjadi sebuah ‘budaya’, tanpa berpikir panjang langsung saya iyakan dan saya sangat mendukungnya. Niatan untuk membentuk kebudayaan atas apresiasi atau penghargaan terhadap karya-karya seni grafis yang berukuran kecil. Dan terlebih niatan untuk mengembangkan karya seni grafis itu sendiri hingga skala internasional. Niatan dan mimpi besar namun dengan presentasi karya-karya yang mini, saya amini tak akan menyurutkan semangat seorang Syahrizal Pahlevi yang militan. Dengan kolaborasi dari berbagai komunitas seni grafis yang jamak teknik dan banyak di Yogyakarta, helatan ini merupakan sebuah gerakan kebudayaan yang patut didukung banyak pihak dan lintas budaya. Membentuk sebuah kebudayaan memang tidak mudah dan tidak cepat. Semoga niatan ini menjadi sebuah kenyataan, sama seperti apa yang saya rasakan saat melewatkan hari-hari magang di Darwin kala itu. (Nunuk Ambarwati/Tirana Art Management)